SETIAP BID’AH PASTI SESAT

 

diambil dari faedah kajian:

📘 Kitab Riyaadhusshaalihiin Karya Al Imam An Nawawi Asy-Syaafi’i rahiimahullah | Ayat Pertama | BAB 18 (Larangan Berbuat Bid’ah dan Perkara yang Diada-adakan)

👤 Ustaz Abu Mahlin hafizhahullah

📅 Kamis, 25 Syawal 1443 H / 26 Mei 2022

🕌 Masjid Umar bin Khattab – Barito Kuala

 


 

Kajian Bab 18 (باب النهي عن البدع ومحدثات األمور)

 

Draf:
*Definisi Bid’ah dan Muhdatsat
*Ranah Perbuatan Bid’ah
*Hubungan Ayat dengan Judul Bab
*Beberapa Pelajaran dari Ayat

 

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan:

قال الله تعالى : فما ذا بعد الحق إلا الضلال [يونس : ٣٢]

 

*Definisi Bid’ah dan Muhdatsat
Kata “Bid’ah” secara bahasa berasal dari kata “بدع”
Berikut beberapa maknanya secara bahasa sebagaimana yang dipakai di dalam Al-Qur’an:
Qs. Al-Baqarah: 117 & Qs. Al-Ahqaf: 9

 

*Ranah perbuatan bid’ah
Ada dua ranah perbuatan bid’ah:
1. Ranah adat dan kebiasaan
2. Ranah Agama

 

1.Hukum bid’ah pada ranah adat dan kebiasaan

Yang dimaksud dengan adat/kebiasaan adalah segala urusan dunia yang biasa dilakukan oleh manusia, semisal makan minum, acara makan-makan yang berhubungan dengan berbagai kondisi dan kejadian (walimah), acara menyambut tamu, ungkapan pemuliaan (tahiyyah), ucapan selamat pada hari raya ataupun pada momen lainnya, pakaian, dll selama tidak ada dalil yang melarang. Hukum bid’ah pada ranah ini pada asalnya adalah mubah, boleh, tidak terlarang. Landasannya adalah kaidah dalam Qs. Al-Baqarah: 29

 

Dikarenakan hukum asalnya adalah boleh, maka perlu dalil untuk melarang dan mengatakan haram, oleh karenanya ulama membagi adat/kebiasaan kepada dua macam, adat yang boleh dan adat yang terlarang. Patokannya adalah aturan syariat. Sebagian contoh adat/kebiasaan yang biasa dilakukan oleh manusia namun terlarang acara kumpul-kumpul dalam rangka takziah kematian diiringi  makan-makan dan lain sebagainya yang dinilai makruh, dan muamalah ribawi yang hukumnya haram.

 

2. Hukum bid’ah pada ranah Agama (Bid’ah keyakinan dan bid’ah Ibadah)

 

Pertama,
Bid’ah dalam ranah Agama dalam bentuk keyakinan (i’tiqadiyah), contohnya adalah keyakinankeyakinan menyimpang yang dianut oleh pengikut jahmiyah, mu’tazilah, rafidhah, khawarij, murji’ah dan berbagai kelompok sesat lainnya.

 

Kedua,
Bid’ah dalam ranah agama dalam bentuk ibadah ada beberapa macam:

 

1. Bid’ah secara asal ibadah. Maksudnya ibadah yang dilakukan tanpa ada asal/pondasi/pijakan syariatnya. Contohnya dalam salah satu kitab khusus terkumpul lebih
150 macam shalat bid’ah, diantaranya: shalat penjaga iman, shalat anti kemunafikan, shalat firdaus untuk bisa melihat nabi, shalat penambah umur, shalat penyehat jiwa, shalat penjaga diri dan anak, shalat pengembali barang hilang, shalat para nabi, shalat nabi khidir, shalat uwais al-qarni. buku ditulis oleh Ahmad Abdul Aziz Jammaz.

2. Bid’ah dalam bentuk menambah ibadah yang sudah disyariatkan. Sederhananya semisal menambah rakaat ke lima untuk shalat dzuhur dan ashar dengan sengaja dan
berharap pahala.

3. Bid’ah dalam cara pelaksanaan ibadah. Pada asalnya dilakukan sendiri-sendiri kemudian diharuskan untuk bersama-sama, misalkan.

4. Bid’ah dalam bentuk pengkhususan waktu. Shalat dan puasa adalah dua ibadah yang disyariatkan akan tetapi menjadi bid’ah jika dikhsusukan waktunya tanpa pembenaran dari syariat.

 

Hukum Bid’ah di dalam Ranah Agama
Semua bid’ah di dalam ranah agama adalah sesat. Berkata Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan dalam Minhatul ‘Allamnya mengatakan: Kesesatan itu lawan dari petunjuk, seseorang dikatakan sesat saat dia jauh dari kebenaran, kebenetan itu adalah sesuatu yang disampaikan oleh syariat baik sesuai tekstual atau hasil dari menyampaikan dari hasil kesimpulan tadi.

 

Hubungan ayat dengan judul Bab:
“Kebenaran adalah lawan dari kesesatan, bid’ah dan muhdatsat adalah kesesatan. Jika melakukan bid’ah dan muhdatsat sama halnya dengan melakukan kesesatan.”
Beberapa pelajaran dari ayat:

1. Istifham pada ayat ini adalah istifham inkari, artinya pertanyaan untuk mengingkari. Misalnya: mau lari kemana? (artinya tidak ada lagi tempat pelarian). Adapun pada ayat ini artinya kalau bukan berada pada kebenaran maka berada pada kesesatan

2. Berdasarkan poin pertama, maka tidak ada jembatan antara kebenaran dan kesesatan. Tidak ada di dalam agama suatu amaliah yang dia berada di antara kesesatan dan kebenaran. Sekiranya 5 hukum taklifiah dibagi ke dalam dua bagian, kesesatan dan kebenaran maka, kesesatan semuanya haram dan kebenaran berada pada makruh, mubah, mustahab, dan wajib.

3. Berdasarkan ayat ini Imam Ibnu Katsir mengatakan: “setiap yang disembah selain Allah adalah bathil”, dalam At-Tanwir ibnu ‘Asyur mengatakan Dholal adalah kebathilan yang terburuk. Maka, ayat ini menunjukkan kewajiban sekaligus keutamaan tauhid dan menunjukkan terlarangnya dan betapa buruknya syirik

 

Ditulis oleh,
Juru Tulis Pesantren Intan Ilmu & Masjid Umar bin Khattab